Ancaman Brainwash
Situs Wikipedia
menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak
etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan
keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash
itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain:
mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman
seseorang, merayu seseorang dengan agak
memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan
yang sangat intens.
Meski awalnya teknik
ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah
aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi
kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan
lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan
seseorang kepada pihak lain.
Keberhasilan brainwash
memang sifatnya tidak instant. Ada
upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah
kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil
psikologis) tertentu sehinga sangat match antara pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat
dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak
sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk
melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom
bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.
Karakteristik
eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan
ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada
pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan
lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita
dengan isu HAM dan demokrasi.
Ini semua perlu
dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu
mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor
kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue
mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.
Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di
muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat
orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah
membuldoser konstruksi jatidiri,
pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan
untuk rencana pembangunan gedung baru.
Tentu ada banyak cara
bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan
mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan
korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash
orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa
banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi
bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis
depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull,
maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan
rancangan konstruksinya ke calon klien.
Sebagai brainwasher,
tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta
syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes,
mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai
mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya
dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.
Untuk memastikan
pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang
manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya
katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak
kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau
curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.
Setelah pembuldoseran
dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus
terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk
berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas
dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian,
dan lain-lain.
Jika jurus terakhir
ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa
kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah
terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah
mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya.
Meski dalam tulisan
ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung,
tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada
orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang
bagus untuk mem-brainwash orang lain.
Terlepas alasan yang
dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach
yang lembut, tahu siapa yang bisa, dan
tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu,
dia juga "pede"(percaya diri) untuk
memimpinorang lain.
Siapa yang Paling
Mudah Di-brainwash?
Siapakah yang paling
mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu
tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah
ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah
dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.
Jika mengacu ke
istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang
yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit
mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa
diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita
bisa menyebutnya abnormal.
Yang termasuk mudah
terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1.
Kemampuannya
sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat
perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2.
Mudah
meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3.
Diam-diam
tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4.
Kaku,
menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan
dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5.
Punya
masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau
toleransinya rendah
6.
Lainnya
lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi
namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah,
mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir mati saja.
Bila semua
karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat
memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak
adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan
orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.
Akan lebih sempurna
ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang
termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa
untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk
menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.
Supaya Tidak Mudah
Terkena Brainwash
Apa ada orang yang
kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya
secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua
orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada
yang sulit.
Supaya kita tidak
mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi
pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan
atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal
yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran,
prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti
perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau
kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita
bukan robot.
Kedua, berlatih menjadi
orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi
itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau
kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras
terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas,
mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran
dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar
gesekan terjadi.
Ketiga, terbuka, tidak
pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang
lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika
universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya
sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi
atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah
kapan saja.
Banyak aksi kekerasan
yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang
wahyu dan mana yang hasil proses kreatif pemimpin agamanya. Fanatik terhadap
konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen.
Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi.
Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.
Keempat, memperkuat logika
hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa
dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri,
misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang
yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya. Jika kita blank terhadap diri sendiri,
logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.
Kelima, berani mengatakan "TIDAK" pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat
kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.
Ciri Brainwash Yang
Baik
Meski di berbagai
literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan
teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada
yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak
manipulatif. Sebut saja ini bahasa
sosial yang keliru.
semoga bermanfaat
semoga bermanfaat
Posting Komentar