Kekerasan
terhadap jemaat Ahmadiyah tidak hanya terjadi di Pandeglang, tetapi
hampir di semua tempat dimana terdapat komunitas Ahmadiyah, sebuah
Masjid yang dipakai oleh jemaat Ahmadiyah di Bogor harus dibongkar oleh
pihak kepolisian setempat, demi menghindari tindakan brutal warga atau
kelompok-kelompok Islam akan menutupnya dengan mengerahkan kekuatan
mereka, hal yang sama terjadi di Kuningan, Rangkasbitung, serta di
banyak daerah tetapi yang menyita perhatian adalah tragedi monas dimana
jemaat Ahmadiyah di dukung oleh AKBB berhadapan dengan kelompok massa
yang menamakan dirinya Front Pembela Islam, terlalu sering kita saksikan bahwa jemaat yang dinilai “sesat” ini harus menerima perlakuan yang tidak manusiawi, Ahmadiyah
nampaknya akan terus terancam dimanapun mereka berada, terutama mereka
yang berada dalam wilayah yang berpeduduk Islam mayoritas. gelar sesat
selalu menempel pada diri mereka dan oleh karena itu, nampaknya bukan
menjadi hal yang aneh jika kemudian mereka dimarjinalkan oleh kaum
Muslim sendiri meskipun mereka menyebut diri mereka Muslim.
Jikalau disinopsiskan seluruh tragedi unhumanism ini
dapat diindikasikan akibat telah terjadinya sumbatan komunikasi antara
ulama dan ummat terhadap ajakan dan seruan damai, toleransi yang
berbudi, sejatinya bahwa kita semua, ummat Islam, para kelompok massa
keagamaan terlebih ustad dan ulama lebih fokus pada ajaran anti
kekerasan, mengajak dengan persuasif dan dialog, sudah maksimalkah peran
MUI untuk mengajak dan memberi pemahaman tetang esensi perdamaian dan
persahabatan yang melahirkan kesalingpahaman (ta’aruf)?, berperankan
FKUB dalam menjaga toleransi umat seagama, lintas agama, bahkan kelompok
diluar lintas agama semisal kepercayaan sunda wiwitan di baduy, atau
jemaat ahmadiyah jika dianggap bukan agama islam idealnya, berdengungkah
para khotib di mimbar jum’at untuk megajak ummat berlomba-lomba
‘memuallafkan” kelompok ahmadiyah kembali kepada ajaran yang benar dengan jalan rahmatan? jika
menurut sebagian umat Islam bahwa ajaran Ahmadiyah itu sesat
dikarenakan mengakui nabi terahir selain nabi Muhammad yaitu Mirza
Ghulam Ahmad, walaupun bagi kalangan Ahmadiyah Lahore Mirza Ghulam Ahmad
itu hanya dianggap sebagai pembaharu semata, dan mempunyai kitab suci
selain Al-Qur’an, dalam konteks jemaat Ahmadiyah, jika di pandang
berbeda dari kelompok Islam lainnya, hal
ini tidak serta-merta menjadikan mereka sebagai sasaran untuk dianiaya,
diperlakukan tidak manusiawi dan lalu dibunuh seenaknya.
Setali
tiga uang soal wibawa hukum yang telah kehilangan terjemahannya di
masyarakat, masyarakat begitu leluasa melakukan tindakan kekerasaannya
tanpa perlindungan yang memadai dari aparat kepolisian, padahal menurut
beberapa sumber tanda-tanda akan terjadinya kerusuhan tersebut telah
terjadi sehari menjelang terjadinya kerusuhan, jika di uraikan sebagai
pisau analisa kecenderungan pelanggaran terhadap HAM memiliki tiga aspek
pelanggaran (Violation of Human Right)
yang semuanya bertalian dengan peran negara terhadap indifidu warga
negara, yaitu tindakan negara secara langsung terhadap warga negara (Violence by Action), pelanggaran karena pembiaran oleh negara (Violence by Omission), dan pelanggaran yang dilegalisasi oleh hukum (Violence of Judicial) hal
mana dalam kejadian ini terindikasi telah terjadi pembiaran, maka tak
heran barangkali jika Komnas HAM menganggap polisi bekerja kurang
maksimal dalam menghalau terjadinya kerusuhan di Pandeglang ini.
Tentu
bahwa tulisan ini tidak berbicara dalam ranah teologi, biarlah urusan
tafsir salah benar menjadi domainnya para agamawan, tetapi mari kita
berkontemplasi atas sesuatu yang secara kasat mata hadir di depan mata,
dialkukan oleh saudara dan di wilayah kita berupa tontonan kekerasan
yang diperankan dengan kesadaran, dimana tontonan itu begitu melukai
perasaan kemenusiaan kita sebagai manusia secara universal, ada hak
asasi manusia yang dilanggar, ada hak hidup, dan harta benda orang lain
yang direnggut, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, hak atas rasa aman, hak wanita,
hak anak dan tentu saja hak-hak lain yang di Indnesia di jamin
berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, selain
terdapat pula aturan HAM dunia yaitu dalam Universal Declaration of
Human Right (UDHR), jika oleh pihak tertentu aturan HAM ini
diperdebatkan korelasinya semisal apa yang di sampaikan KH. Cholil
Ridwan dari MUI, “bahwa melabeli sesat terhadap Ahmadiyah tidak ada
hubungannya dengan hak asasi manusia, MUI sama sekali tidak memasung
siapa pun untuk memeluk agama apa pun, kebebasan beragama adalah hak
asasi setiap manusia. “Laa ikrooha fiddin,” tidak ada paksaan dalam urusan agama. “lakum diinukum waliyadin,” bagimu
agamamu dan bagiku agamaku. Jangan menanam alang-alang di kebun
keluarga, tanamlah di lahan yang kosong yang masih sangat luas.
Kebebasan memeluk agama bukan kebebasan merusak agama orang lain”, untuk
menghindari perdebatan teologis, sekali lagi mari kita lihat kasus ini
paling tidak dari sisi kemanusiaan ansich, yang ingin penulis angkat
disini adalah perihal keabsahan mereka dalam melakukan tindakan tidak
manusiawi tersebut. Peraturan manakah yang mengijinkan seseorang untuk
menghabisi seseorang lainnya hanya karena mereka berbeda pendapat? Dan
dalam konteks kehidupan keagamaan, apakah memang betul ajaran agamanya
mengajarkan untuk meghancurkan mereka yang berbeda pendapat dalam hal
kepercayaan? Rasaya, ditilik dari sudut agama dan sosial, tidak ada
peraturan yang mengajarakan hal demikian. Atas dasar apa kemudian mereka
melakukan hal tersebut?
Hendaknya
semua pihak dapat menahan diri, bagi ummat Islam bahu membahu para
ulama, ustadz, tokoh masyarakat, santri dan muslimin pada umumnya harus
lebih bersabar dalam rangka menancapkan panji-panji Islam sesuai
Al-Qur’an dan Hadis, luruskan niat untuk terus berusaha mempengaruhi dan
menyadarkan pandangan keagamaan saudara-saudara kita jemaat Ahmadiyah
seraya senantiasa menyerukan pesan-pesan perdamaian. Bagi
saudara-saudara jemaat Ahmadiyah bersegeralah mereview dan merenung
ulang tentang esensi kebenaran ajarannya, segeralah bertaubat untuk
keselamatan dunia dan ahiratnya dengan senantiasa mengacu pada surat
keputusan bersama tiga menteri yang salah satu poinnya berbunyi Memberi
peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar
menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama
Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad
SAW dan memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan
pembinaan.
Jika
kita mau kiranya tidak terlambat untuk segera bergegas memenuhi takaran
kebantenan yang sempat tersusut, kita kembalikan nilai-nilai luhur
sebagai warisan masyarakat banten (local wisdom) yang toleran, terbuka, religius sebagai bagian dari image wong
Banten, tidak adil kiranya jika karena nila setitik rusak susu
sebelanga dan kita terjustifikasi menjadi golongan yang berkarakter
brutal dan chaotic, orok Pandeglang, wong Banten saatnya mendeclair
diri sebagai entitas yang kaya peradaban dengan karisma religiusitas,
berislam dengan orientasi vertikal sehingga melahirkan kesalehan
indifidual dan dalam waktu yang sama berdimensi pada kesalehan sosial
dengan karakter kultural
Posting Komentar