Berbicara
mengenai Banten menarik di pandang dari sisi manapun, dan dari jaman
apapun, jikalau kita hendak bernostalgia dengan masa lalunya, Banten
ibarat seorang gadis manis nan manja, daya eksotisnya menyihir banyak
pihak dan seakan mempunyai daya magnetik sehingga siapapun ingin
berkenalan dan dekat dengannya, dengan sumber daya alam yang sangat
melimpah di dukung oleh masyarakat yang terkenal ramah, santun, terbuka,
religius dan mempunyai toleransi yang tinggi, segala suku bangsa, ras
dan agama hidup rukun berdampingan,
salah satu bukti toleransi tersebut
masih nyata dengan berdirinya kelenteng yang tidak jauh dari wilayah
kesultanan, tetapi juga masyarakat Banten di kenal tegas, jika
religiusitas di wakilkan oleh kelompok yang berlabel ulama dan santri
ketegasan di wakilkan pada kelompok yang berlabel jawara tetapi
sesungguhnya jawara Banten memiliki ilmu agama yang cukup baik, sehingga
di jamannya terjadi sinergitas yang baik anatara ulama dan jawara.
Kesultanan
Banten yang berdiri pada tahun 1525, mengalami kemajuan pesat di era
pemerintahan Maulana Hasanuddin, sehingga semakin memperjelas jati
dirinya sebagai pusat penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah
Pajajaran, bahkan sampai ke beberapa wilayah di Sumatera, kemonesan
Banten tidak saja dikenal di Nusantara tetapi sampai ke mancanegara, hal
mana terbukti bahwa Banten mempunyai utusan atau duta besar di Inggris,
dan mempunyai mata uang yang diakui secara luas sebagai alat tukar yang
sah, Banten mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa yang berlangsung dari tahun 1651 sampai tahun 1682
sampai pada ahirnya runtuh yang menurut sejarah dikarenakan perebutan
kekuasaan akibat politik devide et impera Belanda.
Siluet
pandang akan kedigdayaan dan pesona Banten pun masih nampak hadir pada
saat ini, karena memang dari perspektif apapun Banten mempunyai focus spot
yang pantas diperhitungkan, namun kebanggaan kita sebagai wong Banten,
sebagai orok Pandeglang, sebagai masyarakat yang dilabeli taat beragama,
sebagai jawara pembela kebenaran,
sedang
mengalami ujian, sedang dipaksa untuk menyampaikan pengakuan tetang apa
yang sesungguhnya terjadi, sejak peristiwa minggu kelabu dimana terjadi
bentrokan berdarah antara warga Cikeusik Pandeglang dengan jemaat
ahmadiyah yang menewaskan tiga orang dan melukai banyak lainnya, Banten
bak menjadi buah bibir baik secara lokal, regional, nasional bahkan
dunia internasional, tentu saja sakwasangka dan cibiran sedang mengarah
kepada kita masyarakat Banten dimana telah terjadi suatu perbuatan
manusia yang tidak memanusiakan manusia,
masyarakat mengatasi masalah
dengan melakukan justice street. Konsekuensi
logis dari kejadian ini tentu akan berimbas pada stigma tentang tata
nilai yang dianut oleh wong Banten, gambaran Banten seperti dalam
paparan di awal tulisan ini akan menjadi berbanding terbalik, karena
sesungguhnya yang terjadi bahwa masyarakat Banten itu garang, sporadis,
memiliki paham religiusitas sempit dan untoleran,
yang mana sebelumnya pernah terjadi stigma serupa dialami oleh
masyarakat Banten ketika terjadi gerakan terorisme karena beberapa
pelakunya merupakan warga Banten.
Posting Komentar