Call me: 0857.9449.4446 email : info@i-gist.zz.mu

MEMBIDIK RUH DI BALIK KURIKULUM

Selasa, 04 Februari 20140 komentar

 

Esensi Kurikulum

Kurikulum adalah media bagaimana tujuan pendidikan dicapai. Kalau membaca penjabaran Pendidikan Nasional, seperti yang bisa kita lihat di situs Depdiknas atau buku-buku pegangan lain, ada sedikitnya tiga poin yang menjadi sasaran kegiatan Pendidikan Nasional melalui kurikulum itu,  yaitu:
  1. Memunculkan sikap tanggap terhadap perubahan
  2. Memunculkan nurani yang peduli terhadap kekayaan nusantara agar terbentuk jatidiri bangsa
  3. Memunculkan perilaku kesalehan yang didasarkan pada nilai-nilai universal agama  di Indonesia

Sikap tanggap terhadap perubahan sudah kita upayakan melalui kurikulum yang membekali siswa dengan pengetahuan modern, seperti komputer, ekonomi, bahasa, dan seterusnya. Yang belum optimal kita lakukan adalah membekali pengetahuan bagaimana menyentuh kekayaan alam lokal (SDA) dengan pengetahuan modern, sehingga petani kita sederajat status sosial-ekonominya dengan orang-orang industri, seperti di negara lain.

Karena ketanggapan kita lebih ke reaktif (ikut-ikutan), maka kita banting tulang mengejar tuntutan industri dan ramai-ramai mencibirkan aspek pengeloaan SDA. Apesnya, upaya kita mengejar tuntutan industri itu tak sebanding dengan perkembangannya, sementara kita sudah jauh melupakan hebatnya SDA. Akhirnya, pengangguran banyak, sementara banyak tanah yang nganggur. Kata Pak Amin Rais di koran, Indonesia termasuk ranking atas negara kaya dunia secara SDA, tapi penduduknya menempati ranking  atas juga miskinnya.

Begitu juga terhadap pelestarian kekayaan nusantara yang material dan non-material. Secara simbolik dan parsial, ini sudah kita lakukan. Tapi sekolah belum optimal menjadi agen transformasi yang memfasilitasi siswa untuk mampu mengenal, memahami, dan menangkap nilai-nilai budaya dan peradaban keindonesiaan. Kata para sosiolog, anak-anak muda Indonesia kini tak terbekali nilai-nila lama orangtuanya, yang jawani, sundani, atau bugisi, dan seterusnya. Sementara, terhadap nilai-nilai baru, mereka lebih tertarik menelan sampahnnya peradaban dan kebudayaan luar.

Mau meniru Barat atau Timur, sejauh itu permatanya yang kita ambil dan sejauh itu dilandasi kesadaran jati diri bangsa, itu OK. Misalnya meniru Barat dalam hal cintanya terhadap ilmu, kerja keras, atau penghormatannya terhadap kompetensi manusia. Atau meniru Timur dalam hal wisdom-nya, sopan santunnya, dan lain-lain. Yang parah adalah dating di mall menjadi gaya hidup wajib, tapi membaca buku tidak wajib. Bebasnya wajib, tapi menghormati hak orang lain tidak wajib. 

Di bidang keagamaan, kita sudah memasukkan kurikulum khusus agama, plus juga punya departemen agama. Hanya, yang belum optimal kita lakukan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai sumber kesalehan perilaku dan pemersatu. Secara kulit, semua agama berbeda, namanya saja berbeda. Tapi, secara isi, semua agama seragam. Konon, arti awal agama adalah bagaimana memunculkan peranan Tuhan dalam diri manusia dengan kesadaran.  Tapi, jika hanya kulitnya yang disentuh, orang bisa me-tuhankan pemahamannya tentang agama dengan mengatasnamakan agama.

"Yang parah adalah dating di mall menjadi gaya hidup wajib, tapi membaca buku tidak wajib. bebasnya wajib, tapi menghormati hak orang lain tidak wajib.


Sikap Problematik

Melihat banyaknya persoalan yang melilit dunia pendidikan, termasuk masih rendahnya sasaran nasional yang diraih, memang tugas guru tidak ringan. Cuma, guru sebagai sosok yang memainkan porsi peranan kenabian paling banyak, nampaknya perlu ada revitalisasi kesadaran. Ketika para nabi dulu jengkel melihat umatnya yang tidak berubah,  Tuhan malah menegur, Tugasmu bukan mengubah realitas, tetapi berperanlah sebaik mungkin.

Ini bisa kita jadikan landasan dalam mengajar di sekolah sehingga kita tidak menjadi guru yang hampir-hampir mau putus asa atas gagalnya idealisme kita mengubah kenyataan atau pasrah kalah melihat kenyataan yang sudah sedemikian ruwet. Sikap batin demikian akan berpotensi mengundang pemahaman yang problematik. Ini misalnya kita berkesimpulan bahwa menjadi guru di era sekarang ini hanya sebatas (yang penting) menyampaikan materi yang akan diujikan. Titik.

Atau, kalau meminjam istilahnya guru-guru senior yang beberapa kali ngobrol dengan saya, kata beliau-beliau itu, guru-guru sekarang ini lebih berperan sebagaipejabat birokrat kurikulum. Kenapa ini terjadi memang ada banyak faktor. Misalnya, tuntunan yang terlalu tinggi untuk merampungkan kurikulum, keseragaman standar, gaji, dan lain-lain.

Ini belum lagi kalau guru harus berpikir mengenai bergesernya nilai yang dianut oleh manajemen sekolah yang semakin ke materialisme. Sudah mulai banyak sekolah yang didirikan dengan pinjaman bank sebagai modal untuk menghasilkan profit. Dengan logika ini, maka keberadaan guru dan murid adalah alat produksi yang diharapkan mampu memberi untung materi, cicilan hutang dan bunga.

Mau tidak mau, guru akan dihujani tuntutan untuk melakukan berbagai peranan yang didikte oleh motif materialis. Misalnya harus meluluskan anak yang belum layak untuk diluluskan karena pertimbangan materi atau harus toleran terhadap indisipliner karena takut kehilangan murid yang merupakan sumber profit bagi manajemen sekolah. Untuk sekolah yang sudah materialis, lebih baik kehilangan guru ketimbang kehilangan murid karena guru adalah cost. Sakit, memang.

Guru-guru sekarang ini lebih berperan sebagai pejabat birokrat kurikulum?


Memperbanyak Alasan Hidup

Perang antara paham materialisme dan paham keimanan tidak terjadi saat kita jadi guru sekarang ini, tetapi sudah sejak para nabi, bahkan menjadi platform perjuangan para nabi. Karena itu, kita bukanlah makhluk istimewa untuk hal ini. Keimanan bukan anti materi, tetapi paham yang mengutuhkan antara pentingnya material dan spiritual, seperti diri kita yang ber-jasad materi dan berjiwa non-materi. Karenanya disebut juga ajaran tauhid (mengutuhkan / meng-esa-kan).

Sebagai guru, kita memang harus berpikir tentang hal-hal yang material, dari mulai gaji, kurikulum, pengakuan, nama baik, kenaikan jabatan, dan seterusnya. Tapi jika hanya hal-hal material itu yang menjadi landasan, mungkin akan bikin kita goyang. Sebab, yang material itu selalu hanya berlandaskan realitas nyata. Padahal, realitas nyata itu semu, nisbi, dan berubah sesuai trend dan keinginan.

Agar kita bisa bekerja menangkap dan mentransformasikan roh kurikulum, yang antara lain adalah memunculkan ketanggapan responsif, membentuk jati diri bangsa, dan memunculkan perilaku saleh, maka tak cukup hanya bermodalkan alasan material, melainkan perlu memperbanyak alasan-alasan spiritual. Ini demi kemajuan kita sebagai guru dan demi ketahanan jiwa kita dalam berperan.

Secara spiritualnya, ada prinsip yang disebut sebagai pegangan hidup yang paling kuat, seperti simpul ikatan tali pramuka (urwatul wutsqoo). Orang yang memasrahkan dirinya pada Tuhan (tidak terlalu bernafsu mengubah realitas dan tidak terlalu hopeless terhadap realitas), dan terus mengembangkan diri ke arah kebaikan (berperan seoptimal mungkin berdasarkan profesi), serta menolak paham hidup yang kebablasan (ekstrim), digambarkan seperti orang yang berpegangan pada ikatan tali yang kuat itu dalam menghadapi wolak-wali-e jaman (kesemuan realitas).

Prinsip ini mungkin pas dipedomani para guru. Walau kita tahu realitas tetap belum berubah seperti yang kita harapkan, meski mulut kita sudah berbusa menyampaikan ruh kurikulum, tapi kita tetap mengembangkan diri, sebab balasanya PASTI.  Sebelum Tuhan memperbaiki realitas, Dia akan memperbaiki hidup kita lebih dulu. Karenanya, kita menolak menjadi birokrat kurikulum yang mengajar dengan metode yang itu-itu saja, dengan ilmu yang itu-itu saja, dengan level audien yang itu-itu saja dan dengan spirit yang materialisme terus.

Sudah banyak guru yang nasibnya mengalami perubahan dinamis ke arah yang lebih baik, dari berbagai segi, karena jiwanya terus dinamis. Guru-guru seperti inilah yang pas untuk kita contoh. Intinya, pengembangan diri itu bagi guru tidak saja akan menguntungkan murid, tetapi menguntungkan diri sendiri juga.

Karenanya, kita menolak menjadi birokrat kurikulum yang mengajar dengan metode yang itu-itu saja, dengan ilmu yang itu-itu saja, dengan level audien yang itu-itu saja dan dengan spirit yang materialisme terus?


Prinsip Utama 

Tujuan akhir dari semua usaha pendidikan adalah melahirkan the learning people atau orang yang belajar menjadi pinter dengan berbagai usaha yang pas untuk dirinya. Atau, kalau konteksnya Pendidikan Nasional, belajar menjadi pintar yang dimaksudkan di sini adalah menjadi orang yang semakin tanggap terhadap perubahan, menjadi semakin kuat jati diri keindonesiaannya, dan menjadi orang yang saleh perilakunya.

Dengan melihat tujuan akhir yang seperti itu, maka ada rumus yang sudah sejak lama dipegang oleh dunia pendidikan bahwa metode mengajar itu lebih penting dari materi pengajaran. Alasannya, metodelah yang kemudian ikut membedakan apakah out-put-nya itu menjadi pembelajar atau hanya pemegang sertifikasi.

Lalu metode seperti apa? Metode itu memang harus berubah sesuai kebutuhan sehingga tidak perlu ada rumus yang mencoba membakukannya.  Yang tidak boleh berubah adalah prinsip utamanya dan tujuan akhirnya. Prinsip utama dalam metode pengajaran adalah membuka, menyalakan, dan merangsang jiwa supaya learning (perubahan diri ke arah kebaikan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keahlian).

Sekedar sebagai penegas dari apa yang sudah kita ketahui bersama, di bawah ini ada sejumlah jabaran prinsip utama yang bisa kita pilih sebagai rujukan menciptakan metode yang pas:
  • Membangkitkan kesadaran siswa terhadap pentingnya pengelolaan SDA lokal berdasarkan pengetahuan dan perkembangan modern. Siswa tidak saja menjadi orang pintar, tetapi juga orang yang bermanfaat bagi lingkungannya dengan memanfaatkan SDA dan SDM-nya.
  • Mengubah pandangan terhadap diri yang dulu dianggap sebagai orang paling pintar dan ahli menjadi orang yang memfasilitasi proses pembelajaran siswa dan belajar bersama mereka dengan saling berbagi ilmu.
  • Menggantikan posisi pengajaran  yang dulu menjadi sentral dengan pembelajaran. Pengajaran menjadikan guru sebagai sentral, tetapi kalau pembelajaran menjadikan murid sebagai sentral dari usaha guru. Tugas guru dalam pembelajaran adalah bagaimana memintarkan diri sendiri untuk memintarkan siswa.
  • Memunculkan interpretasi yang kontekstual terhadap berbagai khazanah kekayaan peradaban kita untuk membangun landasan terbentuknya jati diri bangsa. Jangan sampai siswa tahu banyak tentang peradaban luar, namun tidak tahu peradabannya sendiri, dari mulai filosofinya, kearifannya, karya-karyanya, dan seterusnya.
  • Menjaga diri agar tidak membebani otak siswa dengan beban konflik  yang kita rangkai dari pemahaman kita terhadap perbedaan agama atau yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia.
  • Perlunya menyadarkan siswa bahwa agama apapun yang mereka peluk, namun kita berada di atas satu kapal yang bernama Indonesia.
  • Perlunya menyadarkan siswa bahwa agama itu milik Tuhan, bukan milik kita. Agama diturunkan agar dipakai sebagai petunjuk dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku, bukan untuk dipakai sombong-sombongan atau alat menyalahkan.    Oleh : Ubaydillah, AN
Share this article :

Posting Komentar

Kabar Menarik Lainnya :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : bisnis | I-gist Serang | kang Adhie | Adiebungsu | my Facebook
Copyright © 2011. bisnis | Kesehatan | Gaya Hidup - All Rights Reserved
Admin: adiebungsu Rating good
Proudly powered by Blogger