Esensi Kurikulum
Kurikulum adalah media bagaimana tujuan
pendidikan dicapai. Kalau membaca penjabaran Pendidikan Nasional, seperti yang
bisa kita lihat di situs Depdiknas atau buku-buku pegangan lain, ada sedikitnya
tiga poin yang menjadi sasaran kegiatan Pendidikan Nasional melalui kurikulum
itu, yaitu:
- Memunculkan sikap tanggap terhadap perubahan
- Memunculkan nurani yang peduli terhadap kekayaan nusantara agar terbentuk jatidiri bangsa
- Memunculkan perilaku kesalehan yang didasarkan pada nilai-nilai universal agama di Indonesia
Sikap tanggap terhadap perubahan sudah kita
upayakan melalui kurikulum yang membekali siswa dengan pengetahuan modern,
seperti komputer, ekonomi, bahasa, dan seterusnya. Yang belum optimal kita lakukan
adalah membekali pengetahuan bagaimana menyentuh kekayaan alam lokal (SDA)
dengan pengetahuan modern, sehingga petani kita sederajat status
sosial-ekonominya dengan orang-orang industri, seperti di negara lain.
Karena ketanggapan kita lebih ke reaktif
(ikut-ikutan), maka kita banting tulang mengejar tuntutan industri dan
ramai-ramai mencibirkan aspek pengeloaan SDA. Apesnya, upaya kita mengejar tuntutan industri itu tak sebanding
dengan perkembangannya, sementara kita sudah jauh melupakan hebatnya SDA.
Akhirnya, pengangguran banyak, sementara banyak tanah yang nganggur. Kata Pak
Amin Rais di koran, Indonesia termasuk ranking atas negara kaya dunia
secara SDA, tapi penduduknya menempati ranking atas juga miskinnya.
Begitu juga terhadap pelestarian kekayaan
nusantara yang material dan non-material. Secara simbolik dan parsial, ini
sudah kita lakukan. Tapi sekolah belum optimal menjadi agen transformasi yang
memfasilitasi siswa untuk mampu mengenal, memahami, dan menangkap nilai-nilai
budaya dan peradaban keindonesiaan. Kata para sosiolog, anak-anak muda
Indonesia kini tak terbekali nilai-nila lama orangtuanya, yang jawani, sundani,
atau bugisi, dan seterusnya. Sementara, terhadap nilai-nilai baru, mereka lebih
tertarik menelan sampahnnya peradaban dan kebudayaan luar.
Mau meniru Barat atau Timur, sejauh itu
permatanya yang kita ambil dan sejauh itu dilandasi kesadaran jati diri bangsa,
itu OK. Misalnya meniru Barat dalam hal cintanya terhadap ilmu, kerja keras,
atau penghormatannya terhadap kompetensi manusia. Atau meniru Timur dalam hal wisdom-nya,
sopan santunnya, dan lain-lain. Yang parah adalah dating di mall menjadi
gaya hidup wajib, tapi membaca buku tidak wajib. Bebasnya wajib, tapi
menghormati hak orang lain tidak wajib.
Di bidang keagamaan, kita sudah memasukkan
kurikulum khusus agama, plus juga punya departemen agama. Hanya, yang belum
optimal kita lakukan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai sumber kesalehan
perilaku dan pemersatu. Secara kulit, semua agama berbeda, namanya saja berbeda.
Tapi, secara isi, semua agama seragam. Konon, arti awal agama adalah bagaimana
memunculkan peranan Tuhan dalam diri manusia dengan kesadaran. Tapi, jika hanya kulitnya yang disentuh,
orang bisa me-tuhankan pemahamannya tentang agama dengan mengatasnamakan agama.
"Yang parah adalah dating
di mall menjadi gaya hidup wajib, tapi membaca buku tidak wajib. bebasnya
wajib, tapi menghormati hak orang lain tidak wajib.
Sikap Problematik
Melihat banyaknya persoalan yang melilit
dunia pendidikan, termasuk masih rendahnya sasaran nasional yang diraih, memang
tugas guru tidak ringan. Cuma, guru sebagai sosok yang memainkan porsi peranan
kenabian paling banyak, nampaknya perlu ada revitalisasi kesadaran. Ketika para
nabi dulu jengkel melihat umatnya yang tidak berubah, Tuhan malah menegur, Tugasmu bukan mengubah
realitas, tetapi berperanlah sebaik mungkin.
Ini bisa kita jadikan landasan dalam mengajar
di sekolah sehingga kita tidak menjadi guru yang hampir-hampir mau putus asa
atas gagalnya idealisme kita mengubah kenyataan atau pasrah kalah melihat
kenyataan yang sudah sedemikian ruwet. Sikap batin demikian akan berpotensi
mengundang pemahaman yang problematik. Ini misalnya kita berkesimpulan bahwa
menjadi guru di era sekarang ini hanya sebatas (yang penting) menyampaikan
materi yang akan diujikan. Titik.
Atau, kalau meminjam istilahnya guru-guru
senior yang beberapa kali ngobrol dengan saya, kata beliau-beliau itu,
guru-guru sekarang ini lebih berperan sebagaipejabat birokrat kurikulum. Kenapa
ini terjadi memang ada banyak faktor. Misalnya, tuntunan yang terlalu tinggi
untuk merampungkan kurikulum, keseragaman standar, gaji, dan lain-lain.
Ini belum lagi kalau guru harus berpikir
mengenai bergesernya nilai yang dianut oleh manajemen sekolah yang semakin ke
materialisme. Sudah mulai banyak sekolah yang didirikan dengan pinjaman bank
sebagai modal untuk menghasilkan profit. Dengan logika ini, maka keberadaan
guru dan murid adalah alat produksi yang diharapkan mampu memberi untung
materi, cicilan hutang dan bunga.
Mau tidak mau, guru akan dihujani tuntutan
untuk melakukan berbagai peranan yang didikte oleh motif materialis. Misalnya
harus meluluskan anak yang belum layak untuk diluluskan karena pertimbangan
materi atau harus toleran terhadap indisipliner karena takut kehilangan murid
yang merupakan sumber profit bagi manajemen sekolah. Untuk sekolah yang sudah
materialis, lebih baik kehilangan guru ketimbang kehilangan murid karena guru
adalah cost. Sakit, memang.
Guru-guru sekarang
ini lebih berperan sebagai pejabat birokrat kurikulum?
Memperbanyak Alasan Hidup
Perang antara paham materialisme dan paham
keimanan tidak terjadi saat kita jadi guru sekarang ini, tetapi sudah sejak
para nabi, bahkan menjadi platform perjuangan para nabi. Karena itu,
kita bukanlah makhluk istimewa untuk hal ini. Keimanan bukan anti materi,
tetapi paham yang mengutuhkan antara pentingnya material dan spiritual, seperti
diri kita yang ber-jasad materi dan berjiwa non-materi. Karenanya disebut juga
ajaran tauhid (mengutuhkan / meng-esa-kan).
Sebagai guru, kita memang harus berpikir
tentang hal-hal yang material, dari mulai gaji, kurikulum, pengakuan, nama
baik, kenaikan jabatan, dan seterusnya. Tapi jika hanya hal-hal material itu
yang menjadi landasan, mungkin akan bikin kita goyang. Sebab, yang material itu
selalu hanya berlandaskan realitas nyata. Padahal, realitas nyata itu semu,
nisbi, dan berubah sesuai trend dan
keinginan.
Agar kita bisa bekerja menangkap dan
mentransformasikan roh kurikulum, yang antara lain adalah memunculkan
ketanggapan responsif, membentuk jati diri bangsa, dan memunculkan perilaku
saleh, maka tak cukup hanya bermodalkan alasan material, melainkan perlu
memperbanyak alasan-alasan spiritual. Ini demi kemajuan kita sebagai guru dan
demi ketahanan jiwa kita dalam berperan.
Secara spiritualnya, ada prinsip yang disebut
sebagai pegangan hidup yang paling kuat, seperti simpul ikatan tali pramuka (urwatul wutsqoo). Orang yang
memasrahkan dirinya pada Tuhan (tidak terlalu bernafsu mengubah realitas dan
tidak terlalu hopeless terhadap realitas), dan terus mengembangkan diri
ke arah kebaikan (berperan seoptimal mungkin berdasarkan profesi), serta
menolak paham hidup yang kebablasan (ekstrim), digambarkan seperti orang yang
berpegangan pada ikatan tali yang kuat itu dalam menghadapi wolak-wali-e jaman (kesemuan
realitas).
Prinsip ini mungkin pas dipedomani para guru.
Walau kita tahu realitas tetap belum berubah seperti yang kita harapkan, meski
mulut kita sudah berbusa menyampaikan ruh kurikulum, tapi kita tetap mengembangkan
diri, sebab balasanya PASTI. Sebelum
Tuhan memperbaiki realitas, Dia akan memperbaiki hidup kita lebih dulu. Karenanya,
kita menolak menjadi birokrat kurikulum yang mengajar dengan metode yang
itu-itu saja, dengan ilmu yang itu-itu saja, dengan level audien yang itu-itu
saja dan dengan spirit yang materialisme terus.
Sudah banyak guru yang nasibnya mengalami
perubahan dinamis ke arah yang lebih baik, dari berbagai segi, karena jiwanya
terus dinamis. Guru-guru seperti inilah yang pas untuk kita contoh. Intinya,
pengembangan diri itu bagi guru tidak saja akan menguntungkan murid, tetapi
menguntungkan diri sendiri juga.
Karenanya, kita
menolak menjadi birokrat kurikulum yang mengajar dengan metode yang itu-itu
saja, dengan ilmu yang itu-itu saja, dengan level audien yang itu-itu saja dan
dengan spirit yang materialisme terus?
Prinsip Utama
Tujuan akhir dari semua usaha pendidikan
adalah melahirkan the learning people atau orang yang belajar menjadi pinter
dengan berbagai usaha yang pas untuk dirinya. Atau, kalau konteksnya Pendidikan
Nasional, belajar menjadi pintar yang dimaksudkan di sini adalah menjadi orang
yang semakin tanggap terhadap perubahan, menjadi semakin kuat jati diri
keindonesiaannya, dan menjadi orang yang saleh perilakunya.
Dengan melihat tujuan akhir yang seperti itu,
maka ada rumus yang sudah sejak lama dipegang oleh dunia pendidikan bahwa
metode mengajar itu lebih penting dari materi pengajaran. Alasannya, metodelah
yang kemudian ikut membedakan apakah out-put-nya itu menjadi pembelajar
atau hanya pemegang sertifikasi.
Lalu metode seperti apa? Metode itu memang
harus berubah sesuai kebutuhan sehingga tidak perlu ada rumus yang mencoba
membakukannya. Yang tidak boleh berubah
adalah prinsip utamanya dan tujuan akhirnya. Prinsip utama dalam metode
pengajaran adalah membuka, menyalakan, dan merangsang jiwa supaya learning (perubahan
diri ke arah kebaikan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keahlian).
Sekedar sebagai penegas dari apa yang sudah
kita ketahui bersama, di bawah ini ada sejumlah jabaran prinsip utama yang bisa
kita pilih sebagai rujukan menciptakan metode yang pas:
- Membangkitkan kesadaran siswa terhadap pentingnya pengelolaan SDA lokal berdasarkan pengetahuan dan perkembangan modern. Siswa tidak saja menjadi orang pintar, tetapi juga orang yang bermanfaat bagi lingkungannya dengan memanfaatkan SDA dan SDM-nya.
- Mengubah pandangan terhadap diri yang dulu dianggap sebagai orang paling pintar dan ahli menjadi orang yang memfasilitasi proses pembelajaran siswa dan belajar bersama mereka dengan saling berbagi ilmu.
- Menggantikan posisi pengajaran yang dulu menjadi sentral dengan pembelajaran. Pengajaran menjadikan guru sebagai sentral, tetapi kalau pembelajaran menjadikan murid sebagai sentral dari usaha guru. Tugas guru dalam pembelajaran adalah bagaimana memintarkan diri sendiri untuk memintarkan siswa.
- Memunculkan interpretasi yang kontekstual terhadap berbagai khazanah kekayaan peradaban kita untuk membangun landasan terbentuknya jati diri bangsa. Jangan sampai siswa tahu banyak tentang peradaban luar, namun tidak tahu peradabannya sendiri, dari mulai filosofinya, kearifannya, karya-karyanya, dan seterusnya.
- Menjaga diri agar tidak membebani otak siswa dengan beban konflik yang kita rangkai dari pemahaman kita terhadap perbedaan agama atau yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia.
- Perlunya menyadarkan siswa bahwa agama apapun yang mereka peluk, namun kita berada di atas satu kapal yang bernama Indonesia.
- Perlunya menyadarkan siswa bahwa agama itu milik Tuhan, bukan milik kita. Agama diturunkan agar dipakai sebagai petunjuk dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku, bukan untuk dipakai sombong-sombongan atau alat menyalahkan. Oleh : Ubaydillah, AN
Posting Komentar